1/11/2025. Wahai pendamping desa, apakah memilih idealisme berdesa, atau jadi corong kebijakan demi zona nyaman?
Pertanyaan ini belakangan banyak bergema di ruang-ruang diskusi dan media sosial para pendamping desa. Ia bukan sekadar sindiran, melainkan refleksi tajam atas dilema yang sedang dihadapi oleh ribuan tenaga pendamping desa di seluruh Indonesia.
Tugas Mulia yang Mulai Terpinggirkan
Pendamping desa sejatinya lahir dari semangat pemberdayaan. Mereka bukan sekadar pelaksana program pemerintah, melainkan katalis yang menjembatani aspirasi rakyat desa dengan arah kebijakan pembangunan nasional.
Namun, di tengah derasnya arus kebijakan top-down, posisi pendamping desa kini mulai tergeser. Idealisme pemberdayaan yang dulu kuat perlahan memudar di bawah tekanan administrasi, instruksi, dan ketakutan kehilangan pekerjaan.
Seorang pendamping bahkan menyebut,
Kami lebih sering diminta menjalankan perintah ketimbang mendengarkan kebutuhan masyarakat. Padahal, semangat pendampingan sejatinya berasal dari bawah — dari desa, bukan dari ruang kebijakan pusat.”
Pernyataan ini menggambarkan krisis peran: apakah pendamping desa masih menjadi mitra kritis masyarakat, atau sekadar perpanjangan tangan birokrasi?
Pandangan 1: Dr. H. Rachmat Kurnia, M.Si (Ahli Pemberdayaan Masyarakat)
Menurut Dr. Rachmat, pendamping desa hari ini berada dalam “jebakan administratif.”
Ia menilai kebijakan pembangunan yang semakin sentralistik membuat pendamping desa kehilangan ruang reflektif dan kritis.
Pendamping desa seharusnya berdiri di tengah — berpihak pada masyarakat, namun tetap profesional terhadap kebijakan. Sayangnya, banyak yang memilih diam demi keamanan posisi. Akibatnya, desa kehilangan ruh pemberdayaan,” ujarnya.
Dr. Rachmat menekankan perlunya revitalisasi peran pendamping agar tidak sekadar menjadi operator, melainkan transformer sosial yang menjaga keseimbangan antara kebijakan dan kemandirian desa.
Pandangan 2: Prof. Dewi Sartika, Ph.D (Pakar Kebijakan Publik dan Tata Kelola Desa)
Prof. Dewi menilai bahwa persoalan ini bukan sekadar tentang moral individu, tetapi juga desain sistemik.
Menurutnya, sejak beberapa tahun terakhir, arah kebijakan pembangunan desa lebih bersifat proyek-sentris dibanding kebutuhan-sentris.
Pendamping desa harus berani menyuarakan evaluasi, meski berisiko. Zona nyaman tidak seharusnya dibangun di atas kompromi terhadap nilai-nilai pemberdayaan. Mereka harus menjadi pengingat bahwa pembangunan tanpa partisipasi adalah pembangunan tanpa jiwa,” tegasnya.
Ia menambahkan, pemerintah seharusnya memberi ruang bagi kritik dan refleksi dari para pendamping, bukan sekadar menuntut kepatuhan administratif.
Pandangan 3: Sulaiman Basir, S.Sos (Praktisi dan Mantan Koordinator Tenaga Ahli P3MD)
Sebagai mantan pendamping, Sulaiman melihat perubahan orientasi ini sudah lama terjadi.
Ia menyebut banyak pendamping desa kini lebih fokus mengejar “kelulusan laporan” daripada “keberhasilan masyarakat.”
Kita lupa, tugas pendamping bukan membuat laporan sempurna, tapi membuat masyarakat berdaya. Jika pendamping lebih takut pada supervisi dibanding pada kegagalan warga, maka kita sudah kehilangan arah,” ungkapnya.
Sulaiman menyerukan agar organisasi pendamping desa memperkuat solidaritas dan memperjuangkan nilai-nilai asli: keberanian, kejujuran, dan keberpihakan.
Pandangan 4: Dr. Sutoro Eko (Rektor STPMD ‘APMD’ Yogyakarta)
Tokoh akademisi desa ini menegaskan bahwa pendamping desa seharusnya menjadi agen demokrasi lokal, bukan sekadar pekerja teknokratis.
Menurutnya, desa adalah arena politik kewargaan, dan pendamping mesti menjaga agar masyarakat tetap berdaya mengelola ruang sosial dan ekonomi secara otonom.
Kalau pendamping desa hanya menjalankan proyek, maka ia kehilangan watak sosialnya. Pendamping bukan birokrat, ia adalah pendidik rakyat. Tugasnya menumbuhkan kesadaran kritis dan kemandirian desa,” ujar Sutoro Eko.
Ia menegaskan, pendamping harus memiliki political courage untuk berpihak pada rakyat desa, bahkan ketika kebijakan berjalan tidak searah dengan nilai pemberdayaan.
Pandangan 5: Dr. Arie Sudjito (Akademisi UGM, Ketua Pusat Studi Pembangunan Sosial)
Sementara itu, Dr. Arie Sudjito menilai krisis pendampingan desa saat ini terjadi karena hilangnya ruang deliberasi dan refleksi sosial.
Desa, kata dia, semakin diposisikan sebagai pelaksana kebijakan, bukan lagi subjek pembangunan.
Pendamping desa semestinya menjadi penjaga nalar kritis warga. Ketika pendamping hanya sibuk dengan laporan dan perintah, maka ia berhenti menjadi pendamping. Ia berubah menjadi operator pembangunan yang kehilangan orientasi sosial,” ungkap Arie.
Ia menegaskan bahwa pemberdayaan sejati adalah ketika masyarakat desa dapat berbicara dengan bahasanya sendiri, dan pendamping hadir sebagai mitra yang mendengarkan, bukan mendikte.
Menjaga Api Idealisme di Tengah Badai Kebijakan
Menjadi pendamping desa di era seperti sekarang memang tak mudah. Di satu sisi, mereka terikat pada struktur dan kebijakan negara; di sisi lain, nurani mereka memanggil untuk berpihak pada masyarakat.
Namun, seperti kata Bung Hatta, “Pembangunan sejati adalah pembangunan manusia.”
Dan pembangunan manusia tidak bisa lahir dari ketakutan, tetapi dari keberanian untuk tetap idealis di tengah tekanan.
Pendamping desa adalah mata air pengetahuan dan moralitas di desa. Mereka tidak boleh kering oleh rutinitas dan rasa takut. Sebab bila pendamping kehilangan idealisme, maka desa akan kehilangan arah, dan bangsa kehilangan akar kekuatannya.
Pertanyaan di awal tulisan ini sejatinya bukan hanya untuk para pendamping desa, tetapi juga untuk kita semua:
Apakah kita memilih berjalan di jalur idealisme, atau sekadar menikmati kenyamanan dalam kepatuhan?
Sebab desa yang berdaulat tidak lahir dari kebijakan yang seragam,
melainkan dari jiwa-jiwa pendamping yang berani berpihak kepada rakyatnya sendiri.
Oleh: Hadian Supriatna
By: indarto Gk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar